Kamis, 07 Mei 2015

Merantau (Lah),…



Menurut Wikipedia, merantau adalah perginya seseorang dari tempat asal dimana ia tumbuh besar ke wilayah lain untuk menjalani kehidupan atau mencari pengalaman. Faktor yang mempengaruhi seseorang untuk merantau cukup banyak, tergantung setiap individu diantaranya tradisi atau budaya, faktor ekonomi, dan pendidikan serta tuntutan pekerjaan.
Merantau, kata yang sudah tidak asing lagi untuk didengar, khususnya bagi saya. Jika ditelaah dari pengertian merantau oleh Wikipedia, maka sudah cukup lama saya merasakan hidup merantau,  berada jauh dari keluarga, belajar mandiri dalam segala hal apapun, sakit, bahagia, sedih, sehat, berjuang ditanah rantau. Semua hal tersebut telah saya lalui hingga saat ini ketika jemari saya menari di atas keyboard menulis tulisan ini. Pernah sekali saya membaca sebuah kutipan yang mengungkapkan untuk merantaulah maka kamu akan tahu bagaimana menghargai waktu, bagaimana kamu semakin menyanyangi keluargamu dan bagaimana kamu menginginkan untuk selalu berada di antara mereka orang yang kamu sayangi. Kutipan tersebut sangat dibenarkan oleh fikiran dan hati saya yang sudah lama merasakan bagaimana rasanya jauh berada dari orang yang disayangi, terutama ayah dan ibu.
Sejak menyelesaikan pendidikan sekolah pertama, saya memutuskan untuk berpisah dengan orangtua dan saudara hanya untuk melanjutkan pendidikan kesekolah yang (katanya) terbaik di salah satu kota provinsi sumatera barat, hal ini tentu dengan setengah hati orang tua melepaskan saya yang masih (anak kecil) untuk berpisah dengan mereka. Tiga tahun menyelesaikan studi saya melanjutkan pendidikan ke bangku perkuliahan yang jarak tempuh sedikit lebih jauh dari sebelumnya namun masih termasuk kawasan provinsi sumatera barat. Kurang lebih 3,5 tahun saya menyelesaikan pendidikan di bangku perkuliahan strata satu, dan selama 4 tahun kurang saya merantau di bumi andalas, bedanya empat tahun ini saya merantau bersama adik perempuan saya yang kebetulan juga berjuang menyelesaikan pendidikannya. Saat itu saya tidak terlalu merasakan apa itu merantau sebenarnya, karena (mungkin) jarak tempuh dan akses yang dilalui serta biaya transportasi untuk pulang tidak terlalu meribetkan, maka setiap waktu luang saya selalu pulang menemui ayah dan ibu. Cita rasa masakan di bumi andalas tidak pernah menjadi persoalan bagi lidah saya yang dibesarkan di daerah minang. (walaupun saya bukan asli minang). Hanya saja ketika saya butuh bahu bersandar dengan sedikit wejangan penyemangat dan nasehat saat saya mulai lelah dengan persoalan kuliah,hanya dapat saya rasakan via suara.
Merantau ? ah, kata itu selalu membuat saya ingin segera pulang, memeluk ayah dan ibu bercerita banyak hal. Tapi saat ini semua itu masih angan-angan yang menari indah di fikiran saya.
Kembali kecerita, kehidupan merantau saya tidak berhenti sampai saya menyelesaikan  perkuliahan saya. Merantau saya masih berlanjut dan hingga akhirnya saya membenarkan kutipan tentang merantau. Dan merantau inilah yang membuat saya merindukan untuk pulang. Entah mitos yang mengatakan jika ada tahi lalat dikaki itu tandanya seseorang tersebut perantau itu benar atau salah, tapi memang di kaki saya kebetulan ada tanda tersebut. Namun saya tidak suka menyebutkan diri saya merantau, saya lebih suka menyebutnya melakukan perjalanan, yah walaupun sebenarnya itu adalah merantau. (beuh, ga nyambung)
Setelah lulus kuliah, saya memutuskan untuk ke pulau jawa dengan rencana awal hanya pergi bermain hingga tes pembukaan pasca di buka. Sembilan belas bulan kehidupan ibukota yang menggugah keinginan untuk bekerja hingga akhirnya saya terdampar di bumi siliwangi untuk melanjutkan pendidikan lagi dan hal ini tak sebanding dengan tujuh tahun lamanya saya merantau di bumi andalas, hanya 19 bulan saja mampu membuat saya merindukan untuk pulang. Bukan hanya sekedar ingin bertemu dengan keluarga dirumah, namun seluruh yang dimiliki oleh bumi andalas dan kampung halaman saya. Budaya, wisata, kuliner, orang-orangnya, suasana rumah  serta tentunya ayah dan ibu, semua yang membuat hati saya ingin pulang. Saya masih ingat ibu pernah bercerita, hujan emas di negri orang, tetap rumah yang akan selalu lebih dari emas.  Entah efek sangat-sangat merindukan untuk pulang, saya harus membenarkan kalimat tersebut. Sejauh apapun kaki ini melangkah, ia tahu kemana tujuan utamanya, ia tahu kemana harus pulang.
Merantau yang sudah beda pulau, mengharuskan saya untuk belajar jarang pulang, tidak hanya itu, saya juga harus belajar menyukai cita rasa masakan yang masih terasa asing di lidah. Dua hal ini merupakan factor terberat yang harus saya alami tapi tetap, kaki ini masih ingin melangkah bertemu dengan hal-hal unik.
Merantau, mengajarkan saya lebih mandiri dalam hal apapun, merantau juga mengajarkan saya untuk tidak boleh sakit. Dan mungkin karena merantau yang merubah persepektif saya akan banyak hal tentang kehidupan. Dengan merantau tidak membuat kita lupa tanah kelahiran, tapi sebaliknya tanpa disadari menimbulkan rindu yang teramat dengan tanah kelahiran hingga ketika kesempatan itu datang, maka tanpa pernah mengenal lelah kita akan memanfaatkan waktu sebaik mungkin dengan mereka yang telah menuggu kita.
Merantau (lah), . . .
Yah, saya setuju dengan kata ini, kata yang mampu membuat kita belajar banyak hal, menghargai waktu, lebih menghargai budaya, keluarga dan apapun itu, walaupun sebenarnya kita memang menghargainya. Tapi akan ada yang menunggu dan ditunggu dengan kehangatan kasih sayang. Akan ada rumah yang memberikan kehangatan lebih daripada tanah perantauan.
Mungkin kaki ini tidak akan pernah berhenti untuk melangkah, sejauh apapun, dan serumit apapun jalan yang akan ia tempuh ia hanya perlu melangkah, karena perjalanan selalu mengajarkan saya banyak hal tentang kehidupan. Untuk orang yang saya temui, untuk suatu hal yang saya kerjakan, untuk setiap kejadian yang muncul, semua itu tidak terjadi dengan kebetulan. Karena menurutNya tidak ada yang kebetulan, kita hanya perlu mengambil hikmahnya.

 3 tahun lalu, ketika berkunjung ke istana pagaruyung

 Selamat malam para perindu rumah.

2 komentar:

  1. Malam uni, karna perantauan kita bertemu hehehe

    BalasHapus
  2. malam uda, yap, tanah rantau mempertemukan kita, tapi ntah kapan (lagi) :'(

    BalasHapus