Menurut Wikipedia, merantau
adalah perginya seseorang dari tempat asal dimana ia tumbuh besar ke wilayah
lain untuk menjalani kehidupan atau mencari pengalaman. Faktor yang
mempengaruhi seseorang untuk merantau cukup banyak, tergantung setiap individu diantaranya
tradisi atau budaya, faktor ekonomi, dan pendidikan serta tuntutan pekerjaan.
Merantau, kata yang sudah tidak
asing lagi untuk didengar, khususnya bagi saya. Jika ditelaah dari pengertian
merantau oleh Wikipedia, maka sudah cukup lama saya merasakan hidup merantau,
berada jauh dari keluarga, belajar mandiri dalam segala hal apapun, sakit,
bahagia, sedih, sehat, berjuang ditanah rantau. Semua hal tersebut telah saya
lalui hingga saat ini ketika jemari saya menari di atas keyboard menulis
tulisan ini. Pernah sekali saya membaca sebuah kutipan yang mengungkapkan untuk
merantaulah maka kamu akan tahu bagaimana menghargai waktu, bagaimana kamu
semakin menyanyangi keluargamu dan bagaimana kamu menginginkan untuk selalu
berada di antara mereka orang yang kamu sayangi. Kutipan tersebut sangat
dibenarkan oleh fikiran dan hati saya yang sudah lama merasakan bagaimana
rasanya jauh berada dari orang yang disayangi, terutama ayah dan ibu.
Sejak menyelesaikan pendidikan
sekolah pertama, saya memutuskan untuk berpisah dengan orangtua dan saudara
hanya untuk melanjutkan pendidikan kesekolah yang (katanya) terbaik di salah
satu kota provinsi sumatera barat, hal ini tentu dengan setengah hati orang tua
melepaskan saya yang masih (anak kecil) untuk berpisah dengan mereka. Tiga tahun
menyelesaikan studi saya melanjutkan pendidikan ke bangku perkuliahan yang
jarak tempuh sedikit lebih jauh dari sebelumnya namun masih termasuk kawasan
provinsi sumatera barat. Kurang lebih 3,5 tahun saya menyelesaikan pendidikan di
bangku perkuliahan strata satu, dan selama 4 tahun kurang saya merantau di bumi
andalas, bedanya empat tahun ini saya merantau bersama adik perempuan saya yang
kebetulan juga berjuang menyelesaikan pendidikannya. Saat itu saya tidak
terlalu merasakan apa itu merantau sebenarnya, karena (mungkin) jarak tempuh
dan akses yang dilalui serta biaya transportasi untuk pulang tidak terlalu
meribetkan, maka setiap waktu luang saya selalu pulang menemui ayah dan ibu. Cita
rasa masakan di bumi andalas tidak pernah menjadi persoalan bagi lidah saya
yang dibesarkan di daerah minang. (walaupun saya bukan asli minang). Hanya saja ketika saya butuh bahu bersandar
dengan sedikit wejangan penyemangat dan nasehat saat saya mulai lelah dengan
persoalan kuliah,hanya dapat saya rasakan via suara.
Merantau ? ah, kata itu selalu
membuat saya ingin segera pulang, memeluk ayah dan ibu bercerita banyak hal. Tapi
saat ini semua itu masih angan-angan yang menari indah di fikiran saya.
Kembali kecerita, kehidupan
merantau saya tidak berhenti sampai saya menyelesaikan perkuliahan saya. Merantau saya masih
berlanjut dan hingga akhirnya saya membenarkan kutipan tentang merantau. Dan merantau
inilah yang membuat saya merindukan untuk pulang. Entah mitos yang mengatakan
jika ada tahi lalat dikaki itu tandanya seseorang tersebut perantau itu benar
atau salah, tapi memang di kaki saya kebetulan ada tanda tersebut. Namun saya
tidak suka menyebutkan diri saya merantau, saya lebih suka menyebutnya melakukan
perjalanan, yah walaupun sebenarnya itu adalah merantau. (beuh, ga nyambung)
Setelah lulus kuliah, saya
memutuskan untuk ke pulau jawa dengan rencana awal hanya pergi bermain hingga
tes pembukaan pasca di buka. Sembilan belas bulan kehidupan ibukota yang
menggugah keinginan untuk bekerja hingga akhirnya saya terdampar di bumi
siliwangi untuk melanjutkan pendidikan lagi dan hal ini tak sebanding dengan
tujuh tahun lamanya saya merantau di bumi andalas, hanya 19 bulan saja mampu
membuat saya merindukan untuk pulang. Bukan hanya sekedar ingin bertemu dengan
keluarga dirumah, namun seluruh yang dimiliki oleh bumi andalas dan kampung halaman
saya. Budaya, wisata, kuliner, orang-orangnya, suasana rumah serta tentunya ayah dan ibu, semua yang
membuat hati saya ingin pulang. Saya masih ingat ibu pernah bercerita, hujan emas
di negri orang, tetap rumah yang akan selalu lebih dari emas. Entah efek sangat-sangat merindukan untuk
pulang, saya harus membenarkan kalimat tersebut. Sejauh apapun kaki ini
melangkah, ia tahu kemana tujuan utamanya, ia tahu kemana harus pulang.
Merantau yang sudah beda pulau,
mengharuskan saya untuk belajar jarang pulang, tidak hanya itu, saya juga harus
belajar menyukai cita rasa masakan yang masih terasa asing di lidah. Dua hal
ini merupakan factor terberat yang harus saya alami tapi tetap, kaki ini masih
ingin melangkah bertemu dengan hal-hal unik.
Merantau, mengajarkan saya lebih
mandiri dalam hal apapun, merantau juga mengajarkan saya untuk tidak boleh
sakit. Dan mungkin karena merantau yang merubah persepektif saya akan banyak
hal tentang kehidupan. Dengan merantau tidak membuat kita lupa tanah kelahiran,
tapi sebaliknya tanpa disadari menimbulkan rindu yang teramat dengan tanah
kelahiran hingga ketika kesempatan itu datang, maka tanpa pernah mengenal lelah
kita akan memanfaatkan waktu sebaik mungkin dengan mereka yang telah menuggu
kita.
Merantau (lah), . . .
Yah, saya setuju dengan kata ini,
kata yang mampu membuat kita belajar banyak hal, menghargai waktu, lebih
menghargai budaya, keluarga dan apapun itu, walaupun sebenarnya kita memang
menghargainya. Tapi akan ada yang menunggu dan ditunggu dengan kehangatan kasih
sayang. Akan ada rumah yang memberikan kehangatan lebih daripada tanah
perantauan.
Mungkin kaki ini tidak akan
pernah berhenti untuk melangkah, sejauh apapun, dan serumit apapun jalan yang
akan ia tempuh ia hanya perlu melangkah, karena perjalanan selalu mengajarkan
saya banyak hal tentang kehidupan. Untuk orang yang saya temui, untuk suatu hal
yang saya kerjakan, untuk setiap kejadian yang muncul, semua itu tidak terjadi
dengan kebetulan. Karena menurutNya tidak ada yang kebetulan, kita hanya perlu
mengambil hikmahnya.
3 tahun lalu, ketika berkunjung ke istana pagaruyung
Selamat malam para perindu rumah.
Malam uni, karna perantauan kita bertemu hehehe
BalasHapusmalam uda, yap, tanah rantau mempertemukan kita, tapi ntah kapan (lagi) :'(
BalasHapus