Jumat, 16 Januari 2015

Edelweiss Pertama



Sebuah tekad, keberanian dan pengorbanan datangnya dari hati yang ikhlas.

Rintik hujan yang turun di selasa pagi 30 desember 2014 tak menyurutkan niat kami untuk tetap melakukan perjalanan menuju gunung papandayan. Gunung dengan ketinggian 2665 mdpl yang terletak di garut jawa barat. Ekspedisi pertama mendaki gunung di pulau jawa bagi dua orang rekan saya, dan ekspedisi pertama kalinya dalam hidup saya mendaki gunung. Pukul 09.30 dua orang rekan saya tiba di kostan saya untuk pembagian peralatan yang di bawa oleh masing-masing kami, dibantu oleh seorang senior barulah selesai sekitar pukul 11.00. dalam perjalanan ini, awalnya sekitar 9 orang yang akan melakukan perjalanan, namun tepat di hari H, hanya ada 3 orang yang benar-benar melakukan perjalanan mendaki gunung papandayan ini. Saya satu-satunya perempuan dalam ekspedisi ini, dan dua rekan saya galan serta safar. Kami sama-sama belum pernah mendaki gunung di pulau jawa ini. Untuk medan yang akan ditempuhpun, kami hanya mengandalkan informasi dari rekan-rekan satu kampus serta informasi dari dunia maya.  Sekitar pukul 12.30 barulah kami mulai melakukan perjalanan ke caheum, setelah sebelumnya kami bertiga berdoa bersama sebelum melakukan perjalanan dan mengisi perut yang memang sudah meronta untuk diisi karna memang sudah waktunya makan siang. Perjalanan di mulai dari bandung menuju caheum, dari  terminal caheum kami melanjutkan kembali perjalanan ke garut. Setiba di garut, masih ada perjalanan yang harus ditempuh menuju desa cisurupan. Tidak hanya sampai cisurupan, kami masih harus melanjutkan perjalanan ke  gunung papandayan. Setiba di pos pertama, kami melapor untuk perizinan pendakian selama 3 hari 2 malam terhitung dari tanggal 30 desember 2014 sampai 01 januari 2015. Sore itu menunjukkan pukul 17.30 wib, kami langsung saja  melanjutkan perjalanan, mengingat kabut yang semakin tebal. Perjalanan dimulai dengan melewati kawah papandayan, 15 menit pertama adalah 15 menit tersulit bagi saya. Betapa tidak carrier 60 liter dipunggung saya ditambah dengan jalanan yang licin, cuaca yang semakin dingin, gerimis yang tak kunjung henti serta bau belerang yang menyengat membuat saya hampir putus asa. Saat itu saya sulit mengatur nafas, entah keberapa kali saya sering meminta untuk istirahat. Untunglah rekan-rekan saya sangat membantu, mereka sangat pengertian dengan kondisi saya yang semakin putus asa. Salah satu  rekan saya juga selalu mengingatkan, jika dirasa capek, informasikan untuk istirahat. Terkadang saya merasa bersalah, karna saya perjalanan jadi sedikit lambat. Tapi entah datang darimana, saya selalu ingin menyelesaikan perjalanan saya, dalam hati saya selalu berguman, bahwa saya bisa dan saya tidak boleh menyerah. Perjuangan yang luar biasa mengalahkan rasa putus asa saya, dan 20 menit berlalu barulah semua terasa lebih ringan. Saya tidak merasa putus asa, yang saya tahu ada dua orang rekan saya yang saling menjaga satu sama lain.  Hari semakin gelap, kami terus melanjutkan perjalanan, selama di perjalanan kami bertemu dengan rombongan pendaki lain yang memiliki misi sama dengan kami, mendaki gunung papandayan, hahahah. Ketika waktu sudah tidak bisa kami prediksi lagi, dan malam semakin gelap, kami bergabung dengan rombongan pendaki lain, berhubung alat penerangan kami jauh tersimpan di carrier rekan saya. Bersama-sama kami saling membantu melewati jalanan yang licin serta terjal. Kita baru kenal dalam perjalanan, namun selama pendakian, yang saya rasa kami sudah dekat, seakan sudah kenal satu sama lain. Hal inilah yang sangat saya sukai selama pendakian, jiwa social sangat terasa dalam pendakian, bagaimana tidak, selama perjalanan naik, ada juga para pendaki yang sudah turun, saling menyapa, memberikan senyuman dan sekedar mengingatkan kondisi  di atas. Selain itu, dalam pendakian naikpun, satu sama lain saling menyapa, seakan sudah kenal.  Berbeda jika kita berada di kota, hal ini sangat sangat jarang ditemukan.  Kembali ke topik, dalam perjalanan, rombongan yang sudah bersama-sama melewati berbagai aneka macam trek (kayak kue aja), akhirnya mereka berhenti untuk mengganjal perut mereka. Tapi kami melanjutkan perjalanan kami, galan mengeluarkan lampu emergency sebagai alat penerangan dalam perjalanan (karena senter kami ketinggalan). Perjalanan kami menuju pondok selada, karena kami berniat mendirikan tenda disana.  Perjalanan ini sangat santai sekali, kami tidak ingin terburu-buru, karena mengingat kami hanya bertiga dan tidak boleh ada yang keletihan sehingga tidak sanggup melanjutkan perjalanan. Selama perjalanan, ada saja hal lucu yang terjadi, seperti rekan saya safar yang tetiba sendalnya putus sebelah dan harus berjalan ngesot (ops), dan baru beberapa menit kemudian rekan sendalnya juga prihatin, dan memutuskan untuk putus juga, (hahahaha ). Alhasil rekan saya safar harus berjalan dengan kaki telanjang untuk sampai ke pondok selada. Sekitar 30 menit berjalan, kembali rekan saya safar membuat kami kaget, dia terpeleset tidak mau berdiri keasikan main lumpur (anak kecil kali ya !!, hahahah ngasal).
Sekitar pukul 20.30 wib, kami sampai di pos 2, rekan saya galan melapor bahwa kami putra-putri  bangsa indonesia telah sampai di pos 2 dan akan melanjutkan perjalan ke pondok selada ( edan).  Saat itu cuaca sedikit ekstrim menurut saya, gerimis kembali menyambut kami, angin juga cukup tidak bersahabat malam itu namun tetap saja tidak menyurutkan niat kami untuk ke pondok selada. Dalam fikiran saya, saya sudah membayangkan sleeping bed yang hangat dan menurunkan tas carrier yang ada di punggung saya. 15 menit kemudian kami sampai di pondok selada, kami mencari tempat yang efektif untuk membangun tenda, saya membantu menyenter, dua rekan saya membuat tenda ( enak banget jadi salah satu cewek di antara mereka, hahah). Setelah tenda jadi, makan malam  yang terlalu malam menurut sebagian cewek yang ingin diet (bukan saya) kami santap bersama mengisi kelaparan yang tertunda, dan malam semakin larut, kantukpun mulai menyerang, menuju ke alam mimpi (ealah). Menurut hemat saya, malam digunung itu lamaaa banget. Entah keberapa kalinya saya terbangun, dan tetap saja, keadaan masih gelap, belum ada cahaya apapun dari sang langit. Kembali saya tertidur dan bangun tetap sama, hanya gelap. Dan pada akhirnya saya memilih untuk terjaga menjemput pagi. Setelah hitungan jam keberapa kali, (maklum ga lihat jam) saya keluar dari tenda, keadan saat itu sudah sedikit terang, mungkin sekitar pukul 5 pagi di bandung (mungkin tapi). Saya pergi mencuci muka dan menggosok gigi, dan yang pertama saya informasikan untuk airnya, waaw dinginnya, lebih dingin dari es di kutub kayaknya deh (lebay banget gue). Tapi serius, dinginnya luar biasa, sampai saya tidak merasakan tangan dan muka saya saat itu karena saking dinginnya. Saat itu saya menggunakan jaket 2 sekaligus, tetap tidak membantu kedinginan saya karena kesombongan saya mencuci muka pagi-pagi buta (hahaha). 



Pondok selada


Sekitar jam 10.00 setelah sarapan, kami melanjutkan perjalanan ke hutan mati dan tegal alun sekedar hunting foto dan pastinya bonus dari mendaki, puncak yang indah. Semua peralatan kami tinggalkan ditenda, hanya 1 carrier yang di bawa untuk persedian makan siang di puncak, untuk membawa beban beratpun tidak efektif dan sangat tidak di anjurkan, mengingat medan yang ditempuh semakin berat. Awalnya kami menuju hutan mati, luar biasa, kata pertama yang saya ucapkan saat itu. Pemandangannya sangat-sangat membuat saya betah berlama-lama berjemur dibawah panasnya mentari seperti bule untuk meng-arangkan kulit kami (hahahaha). Setelah cukup puas menikmati suasana hutan mati, dan cukup bosan sang kamera membidik gambar kami, akhirnya dengan sangat rela, kami melanjutkan perjalanan ke tegal alun. Informasi yang diperoleh, tegal alun tempat bersembunyinya para bunga edelweiss. Jadilah kami berburu taman edelweiss sekedar menikmati keindahan bunga tersebut. Perjalanan menuju tegal alum cukup terjal, lebih terjal dari perjalanan semalam, saya rasa. Tapi pemandangan yang disuguhkan selama perjalanan luar biasa hebatnya. Bagi kalian para pecinta alam, akan tahu makna luar biasa, tapi bagi kalian yang tidak menyukai alam, hal itu lebih terkesan biasa saja bahkan tidak menarik. Selama perjalanan, langkah sangat perlu di perhatikan, karna jalan yang semakin lama semakin menanjak dan licin.  Dalam perjalanan, kami bertemu dengan para pendaki lain yang sudah mulai turun, mereka selalu menginformasikan, hati-hati dengan langkah, dan 5 menit lagi sampai. Tapi 5 menit lagi tidak kunjung sampai menurut saya (hahahah, dikadalin gue). Setelah melewati berbagai rintangan, barulah kami sampai di tegal alun. Bunga edelweiss pertama saya di gunung papandayan dengan ketinggian 2665 mdpl. Saya sangat terharu, akhirnya saya menyaksikan sendiri rumpun edelweiss, taman edelweiss dan saya memegang dengan tangan saya sendiri edelweiss pertama saya.  Saya teringat kejadian beberapa tahun lalu, ketika saya masih di ranah minang. Saya selalu meminta dibawakan edelweiss kepada teman saya yang pergi mendaki, iya saya dibawakan edelweiss yang seharusnya tidak boleh dipetik. Tapi di gunung papandayan ini saya mengerti 1 hal, saya menyukai edelweiss pertama saya, dan tidak ada niat sedikitpun dari hati saya untuk memetiknya, yang saya rasakan sayang jika bunga itu dipetik, ia lebih indah hidup digunung bersama dinginnya gunung. Untuk sebuah keindahan, butuh perjuangan yang luar biasa, untuk edelweiss pertama saya, saya bangga bisa menyaksikannya langsung. Cukup lama kami berada di tegal alun, kami menimati makan siang di tegal alun. Peralatan masak sudah tersedia di carrier safar. Suasana yang luar biasa, bisa masak dan makan di tegah padang edelweiss. Di antara rumpun edelweiss, saya ,menyelipkan rindu. Bahwa saya menyukainya, edelweiss pertama saya.  Setelah dirasa cukup, akhirnya kami memutuskan untuk turun ke pondok selada, mengingat udara semakin dingin, dan awan semakin gelap.  Sesampai di pondok selada, rekan-rekan saya memilih untuk bermalas-malasan, keisengan saya kumat, saya menggangu mereka agar bermain kartu dengan saya. Karna saya sendiri tidak berniat untuk tidur.  Alhasil saya menang, dan mempunyai teman untuk bermain kartu (hahahah). 



Tegal alun



Edelweiss pertama



Saya di hutan mati



Sahabat-sahabat saya
 
 Senja asap kawah dari pondok selada
 
 Hari semakin gelap, giliran saya untuk memasak malam itu, saya memasak ditemani 4 orang pria yang suskes membuat saya grogi. Tapi dengan sok cuek, akhirnya masakan saya jadi, walau ntah apa rasanya. Oke, 2 orang pria tersebut adalah pendaki lain yang bermain ke tenda kami, sekedar bercerita dan bertanya. Setelah mereka tidak mau di ajak makan, akhirnya kamipun makan 1 piring untuk 3 orang. Bukan kere ga bawa piring, tapi piring kami dipinjam tetangga. Usai makan, kami mebereskan peralatan makan, dan bersiap untuk bermain ke tenda-tenda lain sekedar bercengkrama sambil menunggu detik-detik pergantian tahun. Dengan dibaluti 2 potong jaket dan sleeping bed, saya duduk mendengarkan rekan saya memainkan gitar sembari menikmati segelas teh hangat (nikmat banget hidup ini). Suasana pergantian tahun di gunung luar biasa sangat menarik, ketika detik jam mendekati pukul 00.00 wib. Setiap masing-masing tenda, mengarahkan lampu senter kelangit dengan 1 titik di tengah camp, kemudian, dari arah barat, timur, selatan dan utara meluncurlah sang kembang api sebagai tanda tahun telah berganti. Suansana yang luar biasa menurut saya. Pergantian tahun di puncak gunung ternyata tidak kalah menariknya dengan ibukota. Para penghuni kota lebih banyak ke gunung, sekedar menghindari macetnya jalanan dan hiruk pikuk dikota. Saat itu bangga yang luar biasa, saya merayakan pergantian tahun di puncak gunung, bersama para sahabat saya. Luar biasa bukan. Setelah acara kembang api selesai, kami menikmati api unggun yang di sajikan pendaki lain, menghangatkan tubuh dengan malam yang semakin larut. Dengan kantuk yang semakin menyerang, kami memilih untuk tidur didalam tenda, menunggu sang fajar menjemput kami di 2015. 


 Detik pergantian tahun




Kembang api pergantian tahun


 Tanpa terasa, pagi menyingsing, cahaya masuk kedalam tenda, dengan malas, kami bergerak, membersihkan diri dan memasak untuk sarapan. Setelah sarapan, kami membongkar tenda, menyimpan semua peralatan. Jam 11.00 wib, kami mulai untuk turun, tidak lupa untuk berdoa sebelumnya. Kami melewati hutan mati untuk turun, karna menurut hemat kami, hutan mati adalah jalan paling cepat untuk sampai ke cadas.  Melewati hutan mati ternyata cukup sulit, jalannya yang bebatuan, serta berpasir  dan menurun dengan tajam, membuat kami harus ekstra hati-hati. Saya harus terpeleset 2 kali, padahal saya sudah cukup hati-hati untuk melewatinya. Setelah berjalan cukup lama, kami sampai di cadas, dan melapor bahwa kami sudah melaksanakan niat kami dan ingin kembali kerumah masing-masing (ealah). Selama perjalanan pulang, kami ditemani macetnya garut, dan mungkin karena sangat lelah, kami bertiga tertidur didalam bus dan terbangun ketika sudah mendekati luwi panjang, terminal pemberhentian kami. Kami melanjutkan perjalanan kerumah dengan menaiki 1 kali angkutan umum lagi. Sesampai di panorama, kami berpisah, rekan saya harus segera mengembalikan tenda, dan saya membersihkan diri, karna sudah 3 hari tidak mandi (hahahahah). Sekitar jam 20.30 wib, rekan saya datang kekost untuk menjemput saya pergi makan malam diluar, sambil mengolok-olok saya yang sudah mandi duluan, sementara mereka belum mandi, dengan tanpa dosa, saya menjawab dengan senyum manis, (handeh, hahahah).

Banyak hal yang saya pelajari ketika melakukan pendakian kegunung, saya sadar, bahwa sesuatu yang indah tidak didapatkan dengan mudah, harus ada perjuangan yang luar biasa untuk bisa meraihnya. Mendaki juga mengajarkan saya untuk mengalahkan ego, mendaki juga mengajarkan saya arti sebuah usaha, mendaki mengajarkan saya mengalahkan keputus asaan saya, mendaki mengajarkan saya arti persahabatan, mendaki mengajarkan saya karakter sahabat-sahabat saya, mendaki juga membuat saya tahu lebih banyak karakter saya, mendaki mengajarkan saya banyak hal. Sesulit dan seberat apapun rintangan yang dihadapi, tapi dengan tekad yang luar biasa serta usaha yang luar biasa, semua akan menjadi lebih mudah. Mendaki, mengajarkan saya bahwa ada sesuatu yang indah yang menanti untuk dijemput. Untuk pendakian pertama saya, untuk edelweiss pertama saya, saya masih ingin mendaki puncak gunung lainnya dan bertemu edelweiss-edelweis kesekian kalinya.
Di akhir tulisan ini, saya ingin menyampaikan, dengan mendaki, saya memaknai semua kesulitan-kesulitan yang saya tempuh selama mendaki dalam kehidupan nyata yang sebenarnya, dimana dalam hidup banyak hal yang kita tempuh untuk memperoleh kesuksesan, sama halnya dengan mendaki, untuk sampai ke puncak yang indah, banyak hal yang harus dilewati. Untuk hidup yang terus berlanjut, jangan pernah untuk berhenti menyerah, sesulit dan seputus asa apapun kamu, jangan pernah menyerah, karna kesuksesan hanya menunggu kamu yang menjemputnya.
Untuk edelweiss pertama saya, dan untuk gunung pertama saya, terima kasih telah mengajarkan banyak hal  kepada saya. Dan untuk sahabat saya galan dan safar, terimaksih telah membantu perjalanan pertama saya, sehingga semuanya semakin mudah saya maknai.

*postingan ini di tulis setelah melewati malas saya menulis dan pada akhirnya late post.