Sebuah tekad, keberanian dan
pengorbanan datangnya dari hati yang ikhlas.
Rintik hujan yang turun di selasa pagi
30 desember 2014 tak menyurutkan niat kami untuk tetap melakukan perjalanan
menuju gunung papandayan. Gunung dengan ketinggian 2665 mdpl yang terletak di
garut jawa barat. Ekspedisi pertama mendaki gunung di pulau jawa bagi dua orang
rekan saya, dan ekspedisi pertama kalinya dalam hidup saya mendaki gunung. Pukul
09.30 dua orang rekan saya tiba di kostan saya untuk pembagian peralatan yang
di bawa oleh masing-masing kami, dibantu oleh seorang senior barulah selesai
sekitar pukul 11.00. dalam perjalanan ini, awalnya sekitar 9 orang yang akan
melakukan perjalanan, namun tepat di hari H, hanya ada 3 orang yang benar-benar
melakukan perjalanan mendaki gunung papandayan ini. Saya satu-satunya perempuan
dalam ekspedisi ini, dan dua rekan saya galan serta safar. Kami sama-sama belum
pernah mendaki gunung di pulau jawa ini. Untuk medan yang akan ditempuhpun,
kami hanya mengandalkan informasi dari rekan-rekan satu kampus serta informasi
dari dunia maya. Sekitar pukul 12.30
barulah kami mulai melakukan perjalanan ke caheum, setelah sebelumnya kami
bertiga berdoa bersama sebelum melakukan perjalanan dan mengisi perut yang
memang sudah meronta untuk diisi karna memang sudah waktunya makan siang. Perjalanan
di mulai dari bandung menuju caheum, dari terminal
caheum kami melanjutkan kembali perjalanan ke garut. Setiba di garut, masih ada
perjalanan yang harus ditempuh menuju desa cisurupan. Tidak hanya sampai
cisurupan, kami masih harus melanjutkan perjalanan ke gunung papandayan. Setiba di pos pertama,
kami melapor untuk perizinan pendakian selama 3 hari 2 malam terhitung dari
tanggal 30 desember 2014 sampai 01 januari 2015. Sore itu menunjukkan
pukul 17.30 wib, kami langsung saja
melanjutkan perjalanan, mengingat kabut yang semakin tebal. Perjalanan dimulai
dengan melewati kawah papandayan, 15 menit pertama adalah 15 menit tersulit
bagi saya. Betapa tidak carrier 60 liter dipunggung saya ditambah dengan
jalanan yang licin, cuaca yang semakin dingin, gerimis yang tak kunjung henti
serta bau belerang yang menyengat membuat saya hampir putus asa. Saat itu saya
sulit mengatur nafas, entah keberapa kali saya sering meminta untuk istirahat. Untunglah
rekan-rekan saya sangat membantu, mereka sangat pengertian dengan kondisi saya
yang semakin putus asa. Salah satu rekan
saya juga selalu mengingatkan, jika dirasa capek, informasikan untuk istirahat.
Terkadang saya merasa bersalah, karna saya perjalanan jadi sedikit lambat. Tapi
entah datang darimana, saya selalu ingin menyelesaikan perjalanan saya, dalam
hati saya selalu berguman, bahwa saya bisa dan saya tidak boleh menyerah. Perjuangan
yang luar biasa mengalahkan rasa putus asa saya, dan 20 menit berlalu barulah
semua terasa lebih ringan. Saya tidak merasa putus asa, yang saya tahu ada dua
orang rekan saya yang saling menjaga satu sama lain. Hari semakin gelap, kami terus melanjutkan
perjalanan, selama di perjalanan kami bertemu dengan rombongan pendaki lain
yang memiliki misi sama dengan kami, mendaki gunung papandayan, hahahah. Ketika
waktu sudah tidak bisa kami prediksi lagi, dan malam semakin gelap, kami
bergabung dengan rombongan pendaki lain, berhubung alat penerangan kami jauh
tersimpan di carrier rekan saya. Bersama-sama kami saling membantu melewati
jalanan yang licin serta terjal. Kita baru kenal dalam perjalanan, namun selama
pendakian, yang saya rasa kami sudah dekat, seakan sudah kenal satu sama lain. Hal
inilah yang sangat saya sukai selama pendakian, jiwa social sangat terasa dalam
pendakian, bagaimana tidak, selama perjalanan naik, ada juga para pendaki yang
sudah turun, saling menyapa, memberikan senyuman dan sekedar mengingatkan
kondisi di atas. Selain itu, dalam
pendakian naikpun, satu sama lain saling menyapa, seakan sudah kenal. Berbeda jika kita berada di kota, hal ini
sangat sangat jarang ditemukan. Kembali ke
topik, dalam perjalanan, rombongan yang sudah bersama-sama melewati berbagai
aneka macam trek (kayak kue aja), akhirnya mereka berhenti untuk mengganjal
perut mereka. Tapi kami melanjutkan perjalanan kami, galan mengeluarkan lampu
emergency sebagai alat penerangan dalam perjalanan (karena senter kami
ketinggalan). Perjalanan kami menuju pondok selada, karena kami berniat
mendirikan tenda disana. Perjalanan ini
sangat santai sekali, kami tidak ingin terburu-buru, karena mengingat kami
hanya bertiga dan tidak boleh ada yang keletihan sehingga tidak sanggup
melanjutkan perjalanan. Selama perjalanan, ada saja hal lucu yang terjadi,
seperti rekan saya safar yang tetiba sendalnya putus sebelah dan harus berjalan
ngesot (ops), dan baru beberapa menit kemudian rekan sendalnya juga prihatin,
dan memutuskan untuk putus juga, (hahahaha ). Alhasil rekan saya safar harus
berjalan dengan kaki telanjang untuk sampai ke pondok selada. Sekitar 30 menit
berjalan, kembali rekan saya safar membuat kami kaget, dia terpeleset tidak mau
berdiri keasikan main lumpur (anak kecil kali ya !!, hahahah ngasal).
Sekitar pukul 20.30 wib, kami sampai di
pos 2, rekan saya galan melapor bahwa kami putra-putri bangsa indonesia telah sampai di pos 2 dan
akan melanjutkan perjalan ke pondok selada ( edan). Saat itu cuaca sedikit ekstrim menurut saya,
gerimis kembali menyambut kami, angin juga cukup tidak bersahabat malam itu
namun tetap saja tidak menyurutkan niat kami untuk ke pondok selada. Dalam fikiran
saya, saya sudah membayangkan sleeping bed yang hangat dan menurunkan tas
carrier yang ada di punggung saya. 15 menit kemudian kami sampai di pondok
selada, kami mencari tempat yang efektif untuk membangun tenda, saya membantu
menyenter, dua rekan saya membuat tenda ( enak banget jadi salah satu cewek di
antara mereka, hahah). Setelah tenda jadi, makan malam yang terlalu malam menurut sebagian cewek
yang ingin diet (bukan saya) kami santap bersama mengisi kelaparan yang tertunda,
dan malam semakin larut, kantukpun mulai menyerang, menuju ke alam mimpi
(ealah). Menurut hemat saya, malam digunung itu lamaaa banget. Entah keberapa
kalinya saya terbangun, dan tetap saja, keadaan masih gelap, belum ada cahaya
apapun dari sang langit. Kembali saya tertidur dan bangun tetap sama, hanya
gelap. Dan pada akhirnya saya memilih untuk terjaga menjemput pagi. Setelah hitungan
jam keberapa kali, (maklum ga lihat jam) saya keluar dari tenda, keadan saat
itu sudah sedikit terang, mungkin sekitar pukul 5 pagi di bandung (mungkin
tapi). Saya pergi mencuci muka dan menggosok gigi, dan yang pertama saya
informasikan untuk airnya, waaw dinginnya, lebih dingin dari es di kutub
kayaknya deh (lebay banget gue). Tapi serius, dinginnya luar biasa, sampai saya
tidak merasakan tangan dan muka saya saat itu karena saking dinginnya. Saat itu
saya menggunakan jaket 2 sekaligus, tetap tidak membantu kedinginan saya karena
kesombongan saya mencuci muka pagi-pagi buta (hahaha).
Pondok selada
Sekitar jam 10.00 setelah sarapan, kami
melanjutkan perjalanan ke hutan mati dan tegal alun sekedar hunting foto dan
pastinya bonus dari mendaki, puncak yang indah. Semua peralatan kami tinggalkan
ditenda, hanya 1 carrier yang di bawa untuk persedian makan siang di puncak,
untuk membawa beban beratpun tidak efektif dan sangat tidak di anjurkan,
mengingat medan yang ditempuh semakin berat. Awalnya kami menuju hutan mati,
luar biasa, kata pertama yang saya ucapkan saat itu. Pemandangannya sangat-sangat
membuat saya betah berlama-lama berjemur dibawah panasnya mentari seperti bule
untuk meng-arangkan kulit kami (hahahaha). Setelah cukup puas menikmati suasana
hutan mati, dan cukup bosan sang kamera membidik gambar kami, akhirnya dengan
sangat rela, kami melanjutkan perjalanan ke tegal alun. Informasi yang
diperoleh, tegal alun tempat bersembunyinya para bunga edelweiss. Jadilah kami
berburu taman edelweiss sekedar menikmati keindahan bunga tersebut. Perjalanan menuju
tegal alum cukup terjal, lebih terjal dari perjalanan semalam, saya rasa. Tapi pemandangan
yang disuguhkan selama perjalanan luar biasa hebatnya. Bagi kalian para pecinta
alam, akan tahu makna luar biasa, tapi bagi kalian yang tidak menyukai alam,
hal itu lebih terkesan biasa saja bahkan tidak menarik. Selama perjalanan,
langkah sangat perlu di perhatikan, karna jalan yang semakin lama semakin
menanjak dan licin. Dalam perjalanan,
kami bertemu dengan para pendaki lain yang sudah mulai turun, mereka selalu
menginformasikan, hati-hati dengan langkah, dan 5 menit lagi sampai. Tapi 5
menit lagi tidak kunjung sampai menurut saya (hahahah, dikadalin gue). Setelah melewati
berbagai rintangan, barulah kami sampai di tegal alun. Bunga edelweiss pertama
saya di gunung papandayan dengan ketinggian 2665 mdpl. Saya sangat terharu,
akhirnya saya menyaksikan sendiri rumpun edelweiss, taman edelweiss dan saya
memegang dengan tangan saya sendiri edelweiss pertama saya. Saya teringat kejadian beberapa tahun lalu,
ketika saya masih di ranah minang. Saya selalu meminta dibawakan edelweiss kepada
teman saya yang pergi mendaki, iya saya dibawakan edelweiss yang seharusnya
tidak boleh dipetik. Tapi di gunung papandayan ini saya mengerti 1 hal, saya
menyukai edelweiss pertama saya, dan tidak ada niat sedikitpun dari hati saya
untuk memetiknya, yang saya rasakan sayang jika bunga itu dipetik, ia lebih
indah hidup digunung bersama dinginnya gunung. Untuk sebuah keindahan, butuh
perjuangan yang luar biasa, untuk edelweiss pertama saya, saya bangga bisa
menyaksikannya langsung. Cukup lama kami berada di tegal alun, kami menimati
makan siang di tegal alun. Peralatan masak sudah tersedia di carrier safar. Suasana
yang luar biasa, bisa masak dan makan di tegah padang edelweiss. Di antara
rumpun edelweiss, saya ,menyelipkan rindu. Bahwa saya menyukainya, edelweiss pertama
saya. Setelah dirasa cukup, akhirnya
kami memutuskan untuk turun ke pondok selada, mengingat udara semakin dingin,
dan awan semakin gelap. Sesampai di
pondok selada, rekan-rekan saya memilih untuk bermalas-malasan, keisengan saya
kumat, saya menggangu mereka agar bermain kartu dengan saya. Karna saya
sendiri tidak berniat untuk tidur. Alhasil
saya menang, dan mempunyai teman untuk bermain kartu (hahahah).
Tegal alun
Edelweiss pertama
Saya di hutan mati
Sahabat-sahabat saya
Senja asap kawah dari pondok selada
Hari semakin gelap, giliran saya untuk
memasak malam itu, saya memasak ditemani 4 orang pria yang suskes membuat saya
grogi. Tapi dengan sok cuek, akhirnya masakan saya jadi, walau ntah apa
rasanya. Oke, 2 orang pria tersebut adalah pendaki lain yang bermain ke tenda
kami, sekedar bercerita dan bertanya. Setelah mereka tidak mau di ajak makan,
akhirnya kamipun makan 1 piring untuk 3 orang. Bukan kere ga bawa piring, tapi
piring kami dipinjam tetangga. Usai makan, kami mebereskan peralatan makan, dan
bersiap untuk bermain ke tenda-tenda lain sekedar bercengkrama sambil menunggu
detik-detik pergantian tahun. Dengan dibaluti 2 potong jaket dan sleeping bed,
saya duduk mendengarkan rekan saya memainkan gitar sembari menikmati segelas teh
hangat (nikmat banget hidup ini). Suasana pergantian tahun di gunung luar biasa
sangat menarik, ketika detik jam mendekati pukul 00.00 wib. Setiap masing-masing
tenda, mengarahkan lampu senter kelangit dengan 1 titik di tengah camp,
kemudian, dari arah barat, timur, selatan dan utara meluncurlah sang kembang
api sebagai tanda tahun telah berganti. Suansana yang luar biasa menurut saya. Pergantian
tahun di puncak gunung ternyata tidak kalah menariknya dengan ibukota. Para penghuni
kota lebih banyak ke gunung, sekedar menghindari macetnya jalanan dan hiruk
pikuk dikota. Saat itu bangga yang luar biasa, saya merayakan pergantian tahun
di puncak gunung, bersama para sahabat saya. Luar biasa bukan. Setelah acara
kembang api selesai, kami menikmati api unggun yang di sajikan pendaki lain,
menghangatkan tubuh dengan malam yang semakin larut. Dengan kantuk yang semakin
menyerang, kami memilih untuk tidur didalam tenda, menunggu sang fajar
menjemput kami di 2015.
Detik pergantian tahun
Kembang api pergantian tahun
Tanpa terasa, pagi menyingsing, cahaya
masuk kedalam tenda, dengan malas, kami bergerak, membersihkan diri dan memasak
untuk sarapan. Setelah sarapan, kami membongkar tenda, menyimpan semua
peralatan. Jam 11.00 wib, kami mulai untuk turun, tidak lupa untuk berdoa
sebelumnya. Kami melewati hutan mati untuk turun, karna menurut hemat kami,
hutan mati adalah jalan paling cepat untuk sampai ke cadas. Melewati hutan mati ternyata cukup sulit,
jalannya yang bebatuan, serta berpasir dan menurun dengan tajam, membuat kami harus
ekstra hati-hati. Saya harus terpeleset 2 kali, padahal saya sudah cukup
hati-hati untuk melewatinya. Setelah berjalan cukup lama, kami sampai di cadas,
dan melapor bahwa kami sudah melaksanakan niat kami dan ingin kembali kerumah
masing-masing (ealah). Selama perjalanan pulang, kami ditemani macetnya garut,
dan mungkin karena sangat lelah, kami bertiga tertidur didalam bus dan terbangun
ketika sudah mendekati luwi panjang, terminal pemberhentian kami. Kami melanjutkan
perjalanan kerumah dengan menaiki 1 kali angkutan umum lagi. Sesampai di
panorama, kami berpisah, rekan saya harus segera mengembalikan tenda, dan saya
membersihkan diri, karna sudah 3 hari tidak mandi (hahahahah). Sekitar jam
20.30 wib, rekan saya datang kekost untuk menjemput saya pergi makan malam
diluar, sambil mengolok-olok saya yang sudah mandi duluan, sementara mereka
belum mandi, dengan tanpa dosa, saya menjawab dengan senyum manis, (handeh,
hahahah).
Banyak hal yang saya pelajari ketika
melakukan pendakian kegunung, saya sadar, bahwa sesuatu yang indah tidak didapatkan
dengan mudah, harus ada perjuangan yang luar biasa untuk bisa meraihnya. Mendaki
juga mengajarkan saya untuk mengalahkan ego, mendaki juga mengajarkan saya arti
sebuah usaha, mendaki mengajarkan saya mengalahkan keputus asaan saya, mendaki
mengajarkan saya arti persahabatan, mendaki mengajarkan saya karakter
sahabat-sahabat saya, mendaki juga membuat saya tahu lebih banyak karakter
saya, mendaki mengajarkan saya banyak hal. Sesulit dan seberat apapun rintangan
yang dihadapi, tapi dengan tekad yang luar biasa serta usaha yang luar biasa,
semua akan menjadi lebih mudah. Mendaki, mengajarkan saya bahwa ada sesuatu
yang indah yang menanti untuk dijemput. Untuk pendakian pertama saya, untuk edelweiss
pertama saya, saya masih ingin mendaki puncak gunung lainnya dan bertemu edelweiss-edelweis
kesekian kalinya.
Di akhir tulisan ini, saya ingin
menyampaikan, dengan mendaki, saya memaknai semua kesulitan-kesulitan yang saya
tempuh selama mendaki dalam kehidupan nyata yang sebenarnya, dimana dalam hidup
banyak hal yang kita tempuh untuk memperoleh kesuksesan, sama halnya dengan
mendaki, untuk sampai ke puncak yang indah, banyak hal yang harus dilewati. Untuk
hidup yang terus berlanjut, jangan pernah untuk berhenti menyerah, sesulit dan
seputus asa apapun kamu, jangan pernah menyerah, karna kesuksesan hanya
menunggu kamu yang menjemputnya.
Untuk edelweiss pertama saya, dan untuk
gunung pertama saya, terima kasih telah mengajarkan banyak hal kepada saya. Dan untuk sahabat saya galan dan
safar, terimaksih telah membantu perjalanan pertama saya, sehingga semuanya
semakin mudah saya maknai.
*postingan ini di tulis setelah melewati malas saya menulis dan pada akhirnya late post.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar