Kamis, 05 Februari 2015

Keluarga Baru dan Budayanya dari Pulau Seribu Pura



Jika kalian mendengar kata “keluarga”, mungkin sebagian dari kalian berfikir saudara/sanak family terdekat maupun jauh yang masih memiliki hubungan darah yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Lain halnya dengan kata keluarga dalam tulisan ini, keluarga disini bukanlah keluarga yang memiliki bentuk ikatan apapun, melainkan keluarga yang secara tidak sengaja dirasakan dengan sendirinya. Keluarga yang memiliki latar budaya yang sangat berbeda dengan saya khususnya dan kami semua umumnya (para backpeker).
Semua hanya berawal dari niat kami untuk melakukan perjalanan menuju pulau dewata  atau juga terkenal dengan pulau seribu pura  yang sekedar menikmati keindahan salah satu dari 5 pulau yang ada di Indonesia negri tempat kami lahir (ya kalii). Baiklah kata “kami” disini adalah 7 mahasiswa  salah satu perguruan tinggi negeri di kota kembang yang sedang mengalami masa liburan panjang tapi tidak pulang ke pangkuan ibu masing-masing (ealah). Kami adalah power ranger yang kelebihan 2 orang mencari kedamaian di negri orang, melepas penat selama perkuliahan semester satu dan akhirnya mengganggu ketentraman hidupmu, hanya tak mudah bagiku, lepaskanmu,,,lah kok malah pada nyanyi (efek music tetangga mengganggu inih, hahahah).
Saya tidak akan menceritakan bagaimana liburan kami di bali, objek wisata yang kami kunjungi atau hal lainnya yang berhubungan dengan pariwisata. Saya disini akan berbagi mengenai sebuah makna keluarga. Keluarga yang baru saya kenal, hanya sekitar 4 hari saja saya masuk dalam keluarga ini. Singkat bukan ? memang singkat. Tapi saya dan teman-teman lainnya merasa sudah mengenal cukup lama, bahkan mungkin sebelum kami lahir (ngaco banget).
Keluarga tersebut adalah keluarga teman saya eka(nama samaran), dia adalah penduduk bangli di pulau bali. Eka mengetahui kedatangan kami ke bali, dan dia jugalah yang menjemput kami di terminal damri ntah apa nama daerahnya saya lupa. Kemudian memboyong kami ke rumahnya dan menawarkan kepada kami untuk menginap dirumahnya selama tinggal di bali. Sebelumnya di kota kembang kami sepakat hanya satu hari saja menginap dirumahnya, mengingat jumlah kami bertujuh, yang tidak sedikit dan akan sangat mengganggu keluarganya nanti. Tapi ketika kami menyampaikan niat tersebut, eka tidak menyetujuinya dan tetap meminta kami untuk tinggal dirumahnya, ahirnya dengan berbagai kesepakatan, jadilah kami menginap dirumah eka selama di bali.
selama di rumah eka, banyak hal yang saya ketahui dan pelajari, baik dalam hal agama, budaya, adat, bahasa serta hal lain yang sebelumnya tidak pernah saya temui dan saya ketahui. Keluarga eka menganut agama hindu, sebagaimana di bali yang mayoritasnya pun beragama hindu.  Tidak banyak yang saya ketahui tentang agama hindu, karna memang saya sendiri dan teman-teman seperjalanan saya menganut agama islam, berbeda bukan ? ya tentu saja, tapi ternyata tidak menjadi benteng antara kami. Keluarganya melakukan ritual sembahyang sesuai agamanya, dan kami melakukan ibadah sesuai agama kami, tanpa merasa terganggu satu sama lain. Tapi selama di bali, sedikitnya saya menjadi tahu tentang agama hindu, bukan berniat mandalami atau pindah agama, tapi hanya sekedar melepas rasa penasaran saja. Dalam islam, setiap akan memasuki waktu sholat, selalu ada adzan, bahwa waktu sholat sudah masuk. Ternyata di agama hindu juga seperti itu. Awalnya karna saya dan teman-teman duduk santai di teras rumah, lalu tiba-tiba ada suara yang asing bagi kami, kebetulan ada ayah eka disana, jadilah kami bertanya, beliau menjelaskan bahwa itu jika di islam ada adzan, maka di agama mereka suara yang kami dengar tersebut merupakan seperti adzan, panggilan untuk sembahyang.  
Di bangli khususnya dan bali umumnya, adat budaya yang mereka anut cukup kental, mereka tidak terpengaruh dengan turis asing yang datang ke daerah mereka. Tetap saja, adat istiadat terjaga dengan baik.  Unik bukan ? tentu unik. Dalam hal rumah (tempat tinggal) saja menurut saya sangat unik. Dimana dalam satu perkarangan rumah ada banyak rumah dan semua rumah tersebut adalah satu keluarga sedarah. Berbeda dengan rumah pada umumnya, dimana hanya satu rumah dalam satu perkarangan, dan tentanggapun kebanyakan orang lain dengan kata lain bukan keluarga. Pengaturan posisi rumahpun juga di tentukan, seperti pura kecil harus di bagian timur, rumah yang tertua di bagian ini, dapur di bagian itu, bale di bagian ini dan hal lainnya di atur sesuai adat mereka.
Dari satu perkarangan rumah inilah, saya menemukan keluarga baru. Keluarga yang bukan sedarah, sama sekali tidak memiliki ikatan apapun, tapi pada akhirnya menjadi sebuah keluarga baru. Keluarga kecil eka hanya ada 4 orang, bapak, ibuk, eka dan adiknya sendiri dwi. Tapi keluarga ini sangat menyenangkan. Orang tua eka dengan sangat ramah, menerima kami masuk sesaat kedalam kehidupan mereka. Mereka memperlakukan kami bukan seperti orang asing, tapi lebih seperti anak mereka sendiri. Oleh karna itu kami dengan sangat mudah akrab dengan keluarga ini. Selama di rumah eka, kami khususnya yang cewek, belajar memasak masakan khas bali, dan masakan lainnya. Begitupun ibuk, beliau juga pernah bertanya bagaimana cara kami memasak makanan yang kami buat kala itu. Selain itu beliau juga bertukar fikiran mengenai pakaian kebaya, dan hal lainnya yang berhubungan dengan kegiatan perempuan pada umumnya. 



Kami bersama ibuk,bapak,eka dan sepupunya romlah


 Ada hal unik yang sangat saya sukai dari ibuk dan bapak,karna hal tersebut selalu menjadi sorotan saya  serta teman lainnya, dan itu sangat mengagumkan menurut saya.  Selama dirumah, saya selalu melihat bapak dan ibuk bekerja sama baik dalam hal apapun tanpa terkecuali. Saya bahkan harus bilang beliau berdua pasangan paling romantis yang saya temui. Hal ini kenapa  ? karna selama ibuk memasak, bapak selalu menemani dan membantu ibuk, mereka seolah melengkapi satu sama lain. Ketika ibu menggoreng, bapak mengulek cabe, memasak nasi, selain itu ketika ibuk menyetrika pakaian, bapak juga ikut membantu dan banyak hal lain yang mereka kerjakan berdua. Selain itu kemanapun ibu  pergi bapak selalu mengantar ibuk, sedekat apapun lokasinya.  Luar biasa bukan ? tentu. Pernah sekali kami menggoda ibuk dengan hal tersebut, ibuk tersipu malu dan menambahkan bahwa tidak bisa jauh-jauh dari bapak, begitupun juga bapak  (mendadak bikin kami para cewek jadi iri).
Banyak hal unik lainnya yang saya temui selama di bali dan bersama keluarga baru dengan budayanya, saya banyak belajar dari apa yang saya lihat dan apa yang saya dengar. Setiap daerah memiliki budaya dan karakternya masing-masing, tapi tetap saja kekeluargaan selalu ada dimana-mana. Masih teringat bagi saya sebelum meninggalkan pulau seribu pura ini, bagaimana ibu terlihat sedih ketika kami pamit pulang, dan bapak yang turut mengantarkan kami ke terminal hingga bus tersebut perlahan meninggalkan bangli. Bukan dengan keluarga eka saja, tapi dengan saudaranya yang lainpun sangat ramah, bahkan penduduk sekitar pun juga ramah, hal ini ketika kami kepasar membeli beberapa barang yang akan kami tinggalkan dirumah untuk bapak dan ibuk, penduduk pasar dengan ramah menyapa kami dan sedikit bercengkrama, bahkan mengira kami mahasiswa KKN (hahaha) . Tapi nuansa kekeluargaan sangat terasa kala itu. Ternyata bukan hanya kami yang merasakan itu, keluarga eka juga merasakan hal yang sama, hal ini kami ketahui ketika eka menceritakan, bahwa ibuk sangat sedih kami pergi, dan rumah kembali menjadi sepi, hal ini membuat kami menjadi terharu, karna kami sudah mengganggu keluarganya, namun kami diterima dengan sangat terbuka.
Bali dengan segala keunikannya, dan keluarga baru kami di pulau ini, kami bangga telah menjadi bagian dari kalian.

5 komentar:

  1. Bali oh bali. Sejuta pelajaran kau dapat darinya... bahkan ilmu hitam kau ajarkan. . . (hitamkan kulitku)

    BalasHapus
  2. Bali oh bali. Sejuta pelajaran kau dapat darinya... bahkan ilmu hitam kau ajarkan. . . (hitamkan kulitku)

    BalasHapus